9 Desember 2016 - 09:32
Antara Ahok, Timnas dan Penista Al-Qur’an

Energi umat yang sedemikian besar, terlalu sayang buat difokuskan hanya untuk kasus penistaan oleh Ahok, sebab potensi menista Al-Qur’an ada pada mereka yang telah disumpah di bawah mushaf Al-Qur’an saat dilantik.

Ahok sampai saat ini masih terus menuai kontroversi. Kekuatan umat Islam banyak terkuras memperdebatkan, bolehkah Ahok menjadi gubernur di daerah yang mayoritas muslim, bahkan di sebuah provinsi yang merupakan ibukota negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia?. Secara konstitusional tentu absah, sebab Indonesia bukan negara Islam. Siapapun WNI, apapun agama, dari ras/suku manapun berasal, selama memenuhi kelayakan, maka dibolehkan negara untuk bertarung  untuk menjadi apapun di negara ini. Namun bagaimana menurut syariat Islam?

Pro dan kontra terus bergulir mewarnai wacana umat Islam di Indonesia mengenai pemimpin non muslim. Banyak yang mengharamkan namun tidak sedikit pula yang tidak mempersoalkan. Inti sebenarnya, ada pada hak pilih warga yang dijamin kebebasannya oleh negara. Jika ada pemilih dari warga Islam yang enggan memilih Ahok karena alasan beda agama, tentu alasan itu absah, dan tidak boleh dilarang, apalagi diklaim merupakan sikap intoleransi. Jika ada ulama yang menyerukan haram memilih pemimpin non muslim kepada penduduk muslim, tentu itu juga bagian dari keyakinan agama yang semestinya mendapat ruang untuk diterima dan tidak diberangus. Dan untuk ulama yang berpendapat, bolehnya memilih cagub meskipun non muslim selama tidak anti Islam, itu juga pendapat yang harus dihargai dan tidak lantas dijadikan bahan nyinyir bahwa ulama yang bersangkutan, tidak pro cagub muslim dan lebih memilih simpatik pada non muslim. Ulama tersebut hanya menyampaikan hukum sesuai istinbatnya, sehingga tidak boleh divonis pembolehan tersebut sebagai bentuk dukungan.

Sebab, bagaimanapun gubernur bukanlah jabatan keagamaan, melainkan jabatan struktural dalam pemerintahan yang bertugas dan punya wewenang mengatur urusan-urusan publik sehingga warga bisa hidup bersama secara nyaman dan aman. Ada aturan ketat yang mengikat gubernur. Kekuasaannya tidak absolut sebagaimana raja-raja dimasa dinasti-dinasti. Gubernurpun masih berupa bawahan dari jabatan struktural yang ada diatasnya. Masa jabatannya punya batas waktu, bahkan bisa dicopot sewaktu-waktu jika memang terbukti melakukan pelanggaran berat. Karena itu mengaitkan ayat-ayat Al-Maidah secara khusus untuk dijadikan dalil haramnya memilih Ahok yang non muslim untuk menjadi gubernur, tentu wajar jika menjadi debatable dikalangan ulama sendiri.

Pertanyaan besarnya, pemimpin seperti apa yang diharamkan dipilih oleh umat Islam karena alasan ketidak muslimannya? Apakah semua bentuk pemimpin dengan skala apapun? Bagaimana dengan pemimpin perusahaan? Pemimpin dijabatan struktural kementerian? Pemimpin dijabatan struktural kemiliteran dan kepolisian? Sampai pemimpin di skala yang lebih kecil dari itu, RW, RT, Kelurahan dan seterusnya. Mengapa dalil Al-Qur’an itu fokus diarahkan sepenuhnya ke Ahok? Bagi yang meyakini haramnya pemimpin non muslim, apa sudah memastikan, dia tidak sedang dipimpin seorang non muslim ditempatnya bekerja, ditempatnya tinggal?.

Sekarang, apa mereka yang gencar menshare tagar tolak pemimpin kafir, juga memastikan dirinya tidak menshare #BanggaGarudaKita atau #AyoIndonesia ? Kepelatihan Timnas senior Indonesia saat ini diserahkan ke tangan Alfred Riedl, seorang non muslim tentunya, sebab belum ada yang memastikan bahwa dia muslim. Kalau dia boleh menjadi pelatih kepala dengan alasan, itu hanya urusan sepakbola, tidak ada sangkut pautnya dengan agama, silahkan jawab pertanyaan ini:

Sebagai pelatih kepala, Alfred berhak memilih siapa saja yang dipanggilnya bergabung dengan timnas, dia bisa saja sengaja memilih memperbanyak pemain-pemain non muslim di skuad timnas, dan menyingkirkan pemain-pemain yang muslim meskipun lebih berbakat. Dia juga berhak menentukan jadwal latihan, dan sangat mungkin sengaja untuk membuat jadwal latihan yang berbenturan dengan waktu shalat, sehingga pemain muslim terhalangi melaksanakan kewajibannya. Alfred juga bisa dengan otoriter melarang pemain muslim untuk melakukan selebrasi dengan bersujud ke tanah, yang jika melakukan itu, dia akan mencoret pemain tersebut dari timnas. Kemungkinan tersebut, sangat bisa dilakukan Alfred, lantas mengapa Alfred tidak dicegah untuk menjadi pelatih kepala Timnas? Mengapa dalil Al-Qur’an yang dipakai untuk mengusik Ahok tidak digunakan untuk meributkan penunjukkan Alfred sebagai pelatih timnas, terlebih lagi ternyata dia menjadikan Boaz Solossa yang juga non muslim sebagai kapten Timnas. Mengapa pemain Timnas yang muslim tidak diserukan untuk memboikot pelatih non muslim dengan menggunakan dalil Al-Qur’an sebagaimana diterapkan untuk Ahok?.

Mengapa memilah-milah ketika mengklaim diri sebagai Mujahid Al-Qur’an dan pembela Islam? Kalau dikatakan, kekuasaan Alfred hanya terbatas dikalangan pemain Timnas, lantas mengapa saat seorang pemimpin perusahaan yang non muslim menetapkan aturan di perusahaannya agar pekerjanya yang perempuan tidak boleh ada yang mengenakan jilbab dikatakan sebagai bentuk intoleran dan permusuhan terhadap simbol Islam? Padahal yang diatur hanya sebatas  pekerja di perusahaannya saja, tidak untuk semua muslimah. Tentu untuk kejadian itu, akan ada  seruan boikot perusahaan tersebut dan divonis menistakan Islam.   

Kalau  dikatakan, Alfred tidak ditolak karena tidak menghina Islam, apakah dalil larangan memilih pemimpin Kafir dalam Al-Qur’an memberi pengecualian untuk orang Kafir yang tidak menghina Islam? Kalau iya, sebelum kasus Ahok singgung Al Maidah 51 mencuat, mengapa dalil Al-Qur’an dijadikan alasan menolak Ahok sehingga isu tolak pemimpin kafir menjadi viral?.

Itulah sebabnya, menolak Ahok dengan dalil Al-Qur’an ternyata tidak cukup, sebab pada faktanya dalil tersebut tidak secara konsisten diterapkan utuh. Masih milah-milah. Masa untuk kasus Timnas yang dilatih non muslim dan ban kaptennya di lengan non muslim, malah dibanggakan dan dielu-elukan sementara disaat yang sama ikut-ikut menyerukan tolak pemimpin kafir. Mana ghirah Islamnya?. Untung saja, Ahok memang kadang keterlaluan menggunakan lisannya. Sehingga ketika menemukan Ahok menyinggung Al Maidah 51, isu tolak pemimpin kafir pun ditinggalkan, dan beralih ke isu tangkap penista agama.  

Itupun sebenarnya obsi terhadap penghina Al-Qur’an itu ada lebih dari satu, tergantung level penghinaannya. Dikenai sanksi/hukuman, diperlakukan serupa sebagaimana yang dia lakukan terhadap umat Islam, atau dimaafkan. Dan pemaafan dalam terminologi Al-Qur’an lebih dekat pada ketakwaan.

Kita lihat saja, jika misalnya Ahok di pengadilan tidak terbukti bersalah, isu apalagi yang akan menimpa Ahok?. Akh, semoga saja Ahok terbukti bersalah dan dibui bertahun-tahun, sehingga energi umat Islam yang digunakan untuk demo berjilid-jilid itu bisa diarahkan untuk mendemo isu-isu yang jauh lebih krusial. Menuntut pemerintah tegas terhadap Myanmar jika masih membiarkan Rohingnya teraniaya dan tidak mendapat keadilan, kalau perlu putus hubungan diplomatik. Ataupun mendemo perwakilan Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta sebagai sponsor utama tetap berdirinya Israel dan memuluskan agenda-agenda Zionisme yang membuat kisruh di Timur Tengah dan memecah belah umat Islam. Ataupun menuntut hukuman sekeras-kerasnya kepada pejabat yang terbukti melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di departemen Agama, sebab itulah sebesar-besarnya bentuk penistaan pada agama.

Energi umat yang sedemikian besar, terlalu sayang buat difokuskan hanya untuk kasus penistaan oleh Ahok, sebab potensi menista Al-Qur’an ada pada mereka yang telah disumpah di bawah mushaf Al-Qur’an saat dilantik. Simpan sebagian energi besar itu, untuk menghujat dan menuntut mereka dihukum seberat-beratnya, jika akhirnya terbukti korup dan menyalahi sumpahnya, sebab merekalah penista Al-Qur’an yang jauh lebih menyakitkan.

#BanggaGarudaKita

Ismail Amin

Warga Negara Indonesia, sementara berdomisili di Qom-Iran